Senin, 23 Agustus 2010

PKI: Siasat Permen

Dulu, negara kita pernah hampir menjadi negara komunis. Partainya saja waktu itu sangat berjaya. PKI, Partai Komunis Indonesia, tercatat di dalam buku sejarah Indonesia beberapa kali melakukan pemberontakan, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Berbagai penyuluhan pun dilakukan untuk menyebarkan faham materialisme mereka. Disini aku tidak akan mengulas beberapa peristiwa yang kontroversial seperti G 30 s PKI atau yang lainnya. Aku hanya mau mengulas sedikit informasi tentang penyuluhan tersebut yang kutahu. Ceritanya unik, dan mungkin menarik untuk ditulis di blog ini. Berikut bukanlah sebuah kesaksian nyata yang benar terjadi. Aku menulis ceritanya hanya untuk menggambarkan suasana ketika itu.

Pagi hari, tahun 1960-an.

Seorang anak kecil berumur sekitar 5 tahun berjalan riang menuju sekolah. Namanya Muhammad Ali, ia seorang islam. Saat memasuki gerbang sekolah TKnya, Ali melihat banyak tentara berjaga-jaga.
Mereka menggunakan seragam berwarna cokelat keabu-abuan, ditempeli gantungan-gantungan besi mengkilat yang Ali tidak mengerti. Namun yang paling menonjol dari semua itu, ada sepotong kain yang diikatkan ditangan si tentara: sebuah lambang bergambar clurit dan palu, semacam itulah. Ali sering melihat sesuatu seperti itu. Kata ayahnya, lambang itu berarti sesuatu yang tidak baik. Ali bingung, mengapa "sesuatu yang tidak baik" itu berada didepan pagar sekolahnya... Ini baru sekali terjadi. Dengan hati yang bertanya-tanya, ia berjalan memasuki gerbang sekolah dan memasuki kelasnya.

Suasana kelas sangat ramai. Belum ada guru yang masuk. Ali pun cepat duduk didekat teman dekatnya, Yusuf. Yusuf dengan cepat memamerkan buku barunya, tentang 25 nabi dan rasul. Buku itu berwarna warni dan banyaaaakkkk sekali gambarnya. Memang saat itu belum banyak buku macam itu. Dengan penuh antusias, Ali membuka lembaran buku satu per satu.

Namun, tak lama kemudian, suasana kelas menjadi hening. Krik..krik.. Tenyata Bu Guru sudah masuk kelas. Para murid pun langsung kembali ke tempat duduknya masing-masing. Dibelakang Bu Guru ternyata ada salah satu tentara yang Ali lihat didepan gerbang sekolah, yang diikuti oleh... Ali tidak tahu, seseorang, bapak-bapak, yang mengenakan tanda seperti tentara tersebut. Namun ia tidak memakai baju cokelat keabu-abuan dengan gantungan-gantungan besi mengkilat dibadannya, hanya kemeja putih dengan celana kain biasa.

Seisi kelas terlihat heran, bertanya-tanya. Sahabat Ali pun, Yusuf, ternganga. Ia menaruh kebali buku barunya dipinggir mejanya, yang semula berada di meja Ali. Bu Guru memulai pembicaraan.
"Selamat pagi anak-anak..."
"Pagi Bu Guru....", spontan dijawab oleh anak-anak.
"Hari ini, kita kedatangan tamu, yang ini, namanya Pak Slamet Radiahardjo..."
"Pagi pak Slamet...", salam anak-anak.
"Selamat pagi.", jawabnya, dengan kaku.
"Nah, pak Slamet akan memberitahu sesuatu kepada kita. Jadi dengarkan ya..."

Pembicaraan Bu Guru selesai. Diambil alih oleh Pak Slamet. Semua anak terdiam. Mereka semua bertanya-tanya didalam hati apa yang akan diberitahu oleh pak Slamet. Disaat itu pula, Ali melihat seseorang memberikan sekantong...Ali tidak tahu...kepada Bu Guru, dan memberitahunya sesuatu. Ali makin penasaran. Pembicaraan pun dimulai.

"Kalian tahu ini apa?", tanya pak Slamet.
"Permen...!!", jawab anak-anak sambil melihat sebungkus permen ditangan Pak Slamet.
"Siapa yang mau permen???"
"Aku..!", "Aku mau pak...!" ,"Mau..mau..!", anak-anak bersahutan. Diantara mereka yang paling keras, tentu saja Yusuf.

" Kalau begitu, coba kalian berdoa kepada Tuhan kalian.'Ya Tuhan, beri kami permen'... coba.."
Anak-anak berdoa dengan khusu, berharap mendapatkan satu.
Lalu, "Sekarang coba buka mata kalian. Lihat ada apa diatas meja.", lanjut pak Slamet.
Anak-anak membuka mata mereka. Meja mereka kosong. Meja Ali kosong. Meja Yusuf hanya ada buku 25 Nabi dan Rasulnya. Tidak ada yang terjadi.

"Kalian lihat? Tidak ada yang terjadi kan?"
Anak-anak saling bertukar pandang.
"Tuhan tidak memberi kalian permen seperti yang kalian inginkan, bukan?"
Anak-anak terdiam.
"Coba sekarang, kalian minta sama Bu Guru kalian."
Dengan spontan, anak-anak berseru, "Bu Guru..., kami minta permen...".

Bu Guru membagikan permen yang ada di kantong, satu meja, satu permen. Ia berkeliling ke setiap penjuru kelas sampai semuanya dapat. Ada beberapa anak berteriak kegirangan. Yusuf langsung membuka bungkusan permennya. Jarang sekali mereka mendapat sebutir permen saat berada di kelas seperti ini. Sekarang Ali juga sudah tidak penasaran lagi. Lalu, suasana kembali hening saat Pak Slamet mulai berbicara.
"Ini berarti apa coba? Ada yang tahu...?"
Anak-anak menggeleng.

"Tidak? Tidak ada yang tahu? Coba kamu..", pak Slamet menunjuk seorang anak, yaitu Ali, "Apa kamu tahu?"... Ali menggeleng. Iya tidak tahu apa yang Pak Slamet maksud. Melihat Ali menggeleng, Pak Slamet mencari alternatif lain.
"Mmm..begini saja. Menurut kalian, Tuhan itu ada?"
"Ada...", jawab anak-anak.
"Kalau ada, mengapa ia tidak memberi kalian permen? Bukankah seharusnya kalian boleh meminta apa saja yang kalian mau?", tanya Pak Slamet. Menjebak. Tetapi akhirnya Ali angkat tangan dan berbicara.
"Tapi, Tuhan itu kan Gaib pak, kita tidak bisa melihatNya..."
Mendengar Ali, Pak Slamet tersenyum, dan berjalan mendekati Ali. Bukan karena tampang serba "tidak bersalah" Ali yang membuat ia tersenyum, tapi memang jawaban itulah yang ia inginkan.
"Anakku, bagaimana cara kau membuktikan bahwa Tuhan itu ada, jika, kau pun, tidak bisa melihatnya?"
Ali melihat kearah Yusuf, mengharap dapat bantuan. Tetapi Yusuf masih asik mengemut permennya. Namun Pak Slamet sudah memulai lagi.

" Sekarang coba kalian lihat. Bu guru kalian, berdiri disana, senantiasa memberi kalian permen. Karena memang Bu Guru itu ada, kalian bisa melihatkannya kan?"
Anak-anak mengangguk. Nampak mereka sudah terbawa dengan gelombang pembicaraan Slamet. Mereka semua hampir mengakui kebenarannya. Kecuali, Ali.
" Tapi, Tuhan kalian. Kalian tidak bisa melihatNya. Ia tidak memberi apa yang kalian inginkan. Namun kalian masih percaya hal itu? Kalian masih percaya dengan Tuhan?"
Hampir semua anak menggeleng. Namun ada yang diam berfikir, seperti Ali. Pertanyaan seperti membanjiri otaknya, lama kelamaan makin bertambah.
Tanpa ia sadari, sesuatu telah jatuh; Buku baru Yusuf, yang semula disayang Yusuf itu, jatuh dengan tidak disengaja. Tidak langsung mengambil, Yusuf hanya diam. Ia nampak tidak perduli.
Mereka masih terlalu kecil untuk disiasati.
Sekali lagi, persamaan nama, karakter, dan apa saja yang berhubungan dengan tokoh-tokoh diatas itu, hanya kebetulan, jadi jangan diambil hati. Literatur ini kupersembahkan bukan untuk provokasi, tetapi hanya berbagi cerita.
Terimakasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar